Menghidupkan Musik
Apa yang membuat musik menjadi hidup?
Kukira bukan personil, atau musisinya. Karena kalau itu alasannya, pasti Gerard Butler, Iko Uwais, atau bahkan Joseph-Gordon Levitt sudah menelurkan puluhan album yang mengalirkan pundi-pundi uang ke tabungan mereka.
Ah, apalah seorang musisi kalau tidak ada pendengar yang mendukungnya. Kalau bicara soal musisinya, barangkali hanya orang-orang yang memiliki pengaruh yang bisa merajai tangga lagu. Tapi buktinya? Orang-orang lokal yang asli Suroboyo seperti Silampukau toh juga pernah bergabung bersama para musisi senior lain dalam nominasi awarding di sebuah stasiun televisi.
Kukira juga bukan liriknya. Karena kalau itu alasannya, pasti nama-nama seperti Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar (yaa bisa saja ada yang mengulik puisinya), atau bahkan Pidi Baiq ada di credit para musisi.
Ah, apalah arti sebuah lirik kalau pendengar tidak begitu memperdulikannya? Ada yang bilang musik adalah soal selera. Alasan itulah yang menurutku, lirik bukan hal utama yang membuat musik terasa lebih hidup. Toh lirik yang menye-menye dan picisan juga masih merajalela. Tragisnya, dinyanyikan anak-anak ingusan pula!
Kupikir, pendengarlah yang membuat musik menjadi hidup.
Kesimpulan ini aku dapat abisnya nonton konser yang diadakan Himpunan Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Bertajuk Psychofest, acara ini mendatangnkan The Trees and The Wild plus Kelompok Penerbang Roket (all hail to Hima Psikologi Unair!)
Segera, abis pulang kantor aku pergi ke Grand City, tempat Psychofest diadakan. Kebetulan aku datang bersama seorang teman yang juga penikmat dan pemain musik. Waktu aku datang, The Trees and The Wild (TTAW) sudah melantunkan musiknya.
Begonya, kupikir Iga Massardi masih bergabung menjadi salah satu personilnya. Padahal, pria yang kini terkenal sebagai vokalis Barasuara itu sudah hengkang sejak tahun 2011. Nah, awalnya aku nggak tahu kalau yang ada diatas panggung adalah TTAW. Heran juga. Soalnya, tujuan utamaku datang ke Psychofest adalah buat nonton si TTAW. Dodol!
Sebenarnya, bukan soal ada Iga atau enggaknya. Aku juga nggak begitu tahu fisiknya personil TTAW. Yang aku tau, musiknya macam lantunan surga. Adem, ayem, sendu, dan rumit! TTATW benar-benar jenius dan mampu menyusun musik dengan komposisi rapi. Makasih mbak mas TTATW, now we know cara refreshing tanpa liburan ke Bali.
TTATW berhasil menghidupkan musik. Well, musik yang hidup adalah musik yang bisa bikin pendengarnya sadar kalau musiknya enak. Bukan Cuma memainkan musik yang sendu, tapi tahu gimana cara bikin ritme yang awalnya pelan, standar, lalu menggebu-gebu. Kupikir itu rahasia utama bikin musik terasa hidup.
Lalu Kelompok Penerbang Roket (KPR) tampil. Hmm, kayanya kita nggak akan bisa membandingkan penampilan kedua band ini. Dari segi genre, tentunya mereka berdua punya sense dan taste yang berbeda. Tapi, KPR punya rahasia lain buat bikin para pendengar jadi makin menghentak dengan permainan musiknya. Bukan karena musiknya yang memang punya genre hard rock, atau lirik-liriknya yang lugas dan tegas. Tapi KPR tahu benar bagaimana cara mencari celah dari permasalahan yang dekat dengan para pendengar.
Coba saja dengar Mati Muda atau Dimana Mereka. Rasanya, KPR berhasil jadi wadah bagi orang-orang yang kesal dengan berbagai permasalahan di pemerintahan Indonesia. Bukan Cuma mengkritik, tapi KPR tahu benar cara membuat karya. Ditambah dengan kepopulerannya yang lumayan meningkat setelah kemarin merilis musik dengan music video, kupikir KPR tahu rahasia membuat musiknya menjadi terasa hidup.
Permasalahannya adalah bagaimana cara si pendengar tahu kalau musik bisa hidup. Kupikir, pendengar yang baik adalah pendengar yang punya rasa, lalu tahu cara mendengar kata, dilanjutkan dengan memahami makna. Musik yang dimainkan sendiri, adalah bentuk ‘tunggangan’ bagi pendengar untuk lebih menikmati musik.