Tua Sendirian

Binti Yahya
3 min readFeb 28, 2021

--

Jules Zermati, 19th-20th Century, Tales in the Kitchen, oil on canvas 17¾ x 23 inches, Italian.

“Kamu pernah takut jadi tua nggak?”

Kata pepatah dari buku tulis, pengalaman adalah guru terbaik. Jadi ketika kamu punya masalah dan muncul pertanyaan tapi nggak tahu harus ditanyakan kemana, tanyakan pada yang sudah menjalaninya. Pertanyaanku tepat bila diajukan untuk Pinus yang usia di kisaran rata-rata Om, Bapak, Mas dan Koko. Jadi sudah melewati fase yang pernah aku jalani saat ini. Siapa tahu waktu dia masih seumuranku, dia punya pertanyaan yang sama dan sudah menemukan jawabannya.

“Pernah. Kalau sendirian. Tua sendirian,”

Jawabnya, kalem, sambil menyetir dengan tenang. Padahal hujan turun deras.

“Tetanggaku ada yang begitu,” jawabku.

“Takut sendirian?” tanyanya, nggak nyambung.

“Nggak. Tua sendirian. Kenapa kamu takut sendirian? Maksudku, ada banyak alasan untuk takut jadi tua,”

“Misalnya?”

“Menyesal karena nggak bekerja keras, atau nggak keliling dunia,”

“Terus?”

“Dan di antara jutaan alasan itu, kamu memilih takut tua sendirian. Unexpected,”

“Karena kalau tua udah nggak ada gunanya. Nyusahin doang,”

Aku manggut-manggut. Mencerna perspektifnya yang kurasa aneh. Kami berhenti di depan kios burger, lalu lari-lari masuk kios menghindari hujan. Sedikit banyak aku mulai mencerna jawabannya.

Hujan-hujanan berdua sepertinya jauh lebih menyenangkan daripada basah sendirian. Makan berdua juga lebih enak daripada makan ditemani YouTube.

“Emang kamu nggak takut diselingkuhin atau disakitin sama pasanganmu gitu?”

Aku bertanya setengah berbisik ketika dia memilih menu.

“Makanya seleksinya harus bener,” jawabnya lalu memesan burger besar.

“Gonta-ganti pacar dong?” tanyaku penuh selidik. “Terus aku yang ke berapa?”

“Kamu yang kedua,”

Aku bisa merasakan mbak kasir menatap ke arah kami dengan heran. Kami berdua tertawa atas candaannya yang sama sekali nggak lucu itu.

“Let’s say kamu dan pasanganmu beneran langgeng lama, nih,” ujarku, menutup candaannya.

“Okay,” Ia mengangguk untuk memastikan aku mendapatkan responnya. Pinus membayar pesanan dan memilih tempat. Aku mengekor di belakangnya, seperti mahasiswa yang sedang mengajukan pertanyaan pada dosen cuek dan killer.

“Terus apa fungsi dua orang tua yang nggak berguna itu?” tanyaku, mengacu pada argumentasi pertamanya bahwa orang tua sama seperti manusia tanpa guna.

“Seenggaknya aku punya teman yang sama-sama nggak berguna,”

“Hah? Kok gitu?”

“Iya. senggaknya ada teman senasib dan seperjuangan,” Ia berusaha mencari jawaban yang kurasa seperti pembenaran.

Aku berusaha memahami jawabannya.

“Jadi, ada 2 orang nggak guna tinggal seatap dan sekasur?”

“Betul. Paling ya ngomongin sejarah,”

“Kenapa kok sejarah?” tanyaku setengah menuntut.

“Ya apa lagi yang bisa diceritakan? Kan sejarah hidup doang. Hehe,” jawabnya sambil nyengir.

Aku kebingungan dan berusaha mengulang.

“Jadi, 2 orang yang mungkin nggak berguna buat orang lain, tapi berguna satu sama lain dengan ngabisin waktu buat cerita, masak, makan, jalan dan mendengarkan. gitu? Kok menyedihkan. Kenapa cuma sejarah? kan bisa cerita soal what happened around you?”

“Berguna buat mayoritas itu melelahkan. Aku membayangkan seperti itu,”

Burger datang. Aku menutup topik soal growing old dengan gosip baru di lingkungan kerja sambil mengamati orang tua di hadapanku makan burger belepotan. Kupikir topik soal menua sudah berakhir ketika dia mengamatiku dengan heran sebelum mengajukan pertanyaan.

“Kenapa sih nanya begitu?”

“Because you’re older than me,” kemudian aku menambahkan, “much older than me,”

“Aku belum tua-tua banget,” ia membela diri.

“Buat aku, kamu tua. Kamu makin tua, makin keren,” pujiku sambil menyeruput minuman.

Nggak bermaksud untuk memujinya, tapi aku diam-diam meliriknya tersenyum kecil sambil berusaha menyembunyikan ekspresinya.

“Nggak cuma aku, semua orang tua juga begitu,”

“Jadi kamu mengaku kalau kamu sudah tua?” tanyaku menjebak.

“Aku rasa, dengan mengakui kalau aku sudah tua, berarti aku sudah menghargai diri sendiri,” jawabnya, lalu menepuk-nepuk bahunya sendiri. “Kamu sudah berjalan sejauh ini,” ujarnya, apresiatif.

“Kesimpulannya? Menua berarti sudah berjalan jauh?”

Pinus mengangguk.

--

--

Binti Yahya
Binti Yahya

Written by Binti Yahya

mostly talks about love and life stuff.

No responses yet